Ketika saya masih kecil, orangtua selalu merayakan hari kelahiran saya. Tiap tanggal satu malam di bulan September, selalu diadakan doa di rumah. Teman-teman lingkungan diundang untuk hadir dalam doa syukur itu.
Saya ingat, kebiasaan itu belum lumrah di desa saya. Banyak teman tidak terbiasa merayakan ulangtahun kelahiran. Bagi saya waktu itu, ulang tahun adalah di mana orangtua saya akan mengundang teman-teman untuk berkumpul di rumah dan berdoa bersama. Tidak ada suasana pesta yang ingar bingar. Yang ada hanya syukur kepada Tuhan bahwa saya diberi kesempatan usia setahun lagi.
Kebiasaan itu terus berlanjut hingga saya lulus SMP. Selepas SMP saya masuk seminari menengah. Di sana, kebiasaan ulang tahun adalah disiram. Tidak ada lagi doa yang khusyuk dan ucapan selamat yang baik. Ada yang hilang dalam hidup saya. Budaya ulang tahun masyarakat kota sangat berbeda dengan apa yang saya rasakan dulu di desa. Mulai ada budaya ntraktir coklat, atau apalah untuk ntraktir teman-teman.
Dulu orangtua saya selalu masak soto, dan memang hanya selalu soto. Namun semua bahagia karena semua bisa menikmati soto itu. Sekarang itu tidak ada lagi.
Empat tahun di Seminari Menengah tidak meninggalkan bekas mendalam akan peristiwa ulang tahun. Bahkan ulang tahun ke 17 yang bagi kebanyakan remaja adalah peristiwa yang paling menyenangkan saya lewati begitu saja.
Selanjutnya saya memasuki tahap hidup yang baru lagi, hidup membiara. Tahun pertama adalah peristiwa yang paling menegangkan dan sekaligus mengesankan dalam perayaan ulang tahun di biara. Pagi hari di doakan dalam perayaan ekaristi, makan pagi boleh ngomong-ngomong, biasanya harus hening – diam. Kejutan yang paling besar adalah ketika ada pelajaran dari romo pembimbing. Rupanya teman-teman sudah berkoordinasi untuk mengerjai saya. Mereka menulis sebuah surat kemudian pergi ke kantor pos untuk minta stempel, yang dibuat agar mengesankan saya bahwa surat itu betul-betul dikirim dari luar. Nama pengirim itu seorang perempuan yang saya kenal. Hal yang paling menegangkan adalah ketika romo pembimbing memberi pengantar yang cukup menakutkan. Whaah, sebuah perayaan ulang tahun yang terus terkenang dalam hati.
Selanjutnya semua berjalan biasa-biasa saja, hanya terkadang ada variasi, teman-teman suka usil, kamar dihias bahkan tidak jarang di buat kacau balau. Yah itulah perayaan di biara pembinaan para frater.
Hari ini aku merayakan ulangtahun lagi, yang ke30. Masih muda atau sudah tua saya tidak tahu. Bahwa rahmat Tuhan sudah begitu besar aku rasakan, iya. Bahwa aku yang penuh dosa ini masih terus dikasihani oleh Tuhan, betul. Hari ini aku merayakan ulangtahun, diawali dengan misa komunitas, dimana bacaan Injil mengenai talenta. Kita semua diberi talenta, dibutuhkan keberanian dan kerendahan hati untuk berani mengembangkan talenta yang telah Tuhan berikan. Adakalanya orang dilanda kesombogan dan ketakutan akan talenta itu, hingga tidak berani melakukan apapun untuk mengembangkan diri.
Setelah misa saya masuk kelas XIIA4. Mereka memberi saya kejutan dengan sebuah drama. Trimakasih anak-anak, kalian memang luar biasa, kreatif dan cerdas. Semoga kalian semua bisa berkembang sesuai talenta yang telah Tuhan berikan pada kalian.
Akhirnya, saya hendak bersyukur kepada Tuhan yang telah memberi saya rahmat yang begini besar. Semoga saya bisa menjalankan tanggungjawab yang dipercayakan kepada saya. Ini semua adalah rahmat, karena rahmat itu adalah tugas, mka saya mesti bertanggungjawab atas rahmat itu. Hal yang tidak mudah.
Pepatah lama mengajari saya banyak hal. MENJADI TUA ITU BIASA, TETAPI MENJADI BIJAKSANA ITU TIDAK BIASA. Dengan merayakan ulangtahun seseorang menjadi semakin tua, namun belum tentu menjadi semakin bijaksana. Semoga saya bisa semakin bijaksana.
Waris
Pada Mulanya Adalah Kehendak Baik
Pada mulanya adalah kehendak baik untuk membagikan segala informasi mengenai Dempo. Dalam perjalanan waktu saya menyadari ada yang berubah. Tidak lagi DEMPO yang ingin kubagikan, tetapi diriku sendiri.
Untuk semua ini saya minta maaf. Bahkan ketika saya harus menggunakan nama DEMPO untuk blog ini. Dulu saya begitu percaya diri bahwa akan selamanya di sini, namun benar kata pengkhotbah, segala sesuatu ada waktunya. Ada waktu untuk menangis ada waktu untuk tertawa. Ia menjadikan segala sesuatu indah pada waktunya. Alangkah indahnya jika semua berjalan sepertiyang dirancangkan-Nya.
Jika nantinya, pada waktu yang telah ditetapkan-Nya, saya tidak di DEMPO lagi perkenankan saya tetap memakai nama DEMPO ini. Saya telah telanjur mencintainya. Saya berusaha tidak akan mengecewakannya, di mana pun saya akan berada.
Tuhan memberkati
romo waris
Friday, August 31, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment