Pada Mulanya Adalah Kehendak Baik

Pada mulanya adalah kehendak baik untuk membagikan segala informasi mengenai Dempo. Dalam perjalanan waktu saya menyadari ada yang berubah. Tidak lagi DEMPO yang ingin kubagikan, tetapi diriku sendiri. 
Untuk semua ini saya minta maaf. Bahkan ketika saya harus menggunakan nama DEMPO untuk blog ini. Dulu saya begitu percaya diri bahwa akan selamanya di sini, namun benar kata pengkhotbah, segala sesuatu ada waktunya. Ada waktu untuk menangis ada waktu untuk tertawa. Ia menjadikan segala sesuatu indah pada waktunya. Alangkah indahnya jika semua berjalan sepertiyang dirancangkan-Nya.
Jika nantinya, pada waktu yang telah ditetapkan-Nya, saya tidak di DEMPO lagi perkenankan saya tetap memakai nama DEMPO ini. Saya telah telanjur mencintainya. Saya berusaha tidak akan mengecewakannya, di mana pun saya akan berada. 

Tuhan memberkati
romo waris

Saturday, July 12, 2008

Gamelan Kita Merana

Berita di harian KOMPAS dua hari ini (12 Juli dan 13 Juli) menyuguhkan berita mengenai pelestarian budaya. Tanggal 12 diangkat berita mengenai pelestarian wayang beber. Ada satu pertanyaan yang menunggu jawaban serius, siapa yang bertanggung jawab terhadappelestarian budaya ini (wayang beber). Kemudianpada hari minggu disuguhkan berita mengenai berita fstival gamelan. Hal yang menarik, festival ini diikuti juga peserta dari mancanegara.

Mungkin ada baiknya saya kutipkan berita dari KOMPAS.
ygf 2008
Spirit Gamelan Lintas Negara
Minggu, 13 Juli 2008 | 03:00 WIB
Lukas Adi Prasetya dan Amanda Putri Nugrahanti

Ketika seperangkat gamelan ditabuh, yang muncul tidak hanya alunan gending Jawa klasik yang meneduhkan. Lebih dari itu, ada semangat kebersamaan yang dibangun, yang merupakan esensi dari gamelan.

Kemampuan anak-anak masih standar, sih. Begitulah. Mereka memang baru duduk di kelas II-IV SD. Tapi, bayangkan beberapa tahun mendatang, kalau mereka terus berlatih gamelan dan selalu mendapat kesempatan tampil,” tutur Mustamin Amin.

Kepala SD Muhammadiyah Kadisuko, Kalasan, DI Yogyakarta, itu memberi komentar tentang para siswanya yang menjadi peserta 13th Yogyakarta Gamelan Festival (YGF), ajang gamelan bertaraf internasional yang dilangsungkan di Yogyakarta, 10-12 Juli 2008.

Kamis (10/7) malam, anak didiknya yang tergabung dalam Komunitas Gamelan Mini tampil membuka YGF di Taman Budaya Yogyakarta. Kebanggaan pak guru ini karena anak didiknya dahulu hanya sekadar tahu gamelan, tapi tak mengenal lebih dalam. Mereka lebih akrab dengan musik pop.

Ternyata, setelah telinga disentuhkan dengan gending dari gamelan, mereka suka. ”Mereka hanya perlu dikenalkan, dikenalkan, dan didukung,” begitu katanya. Itu saja dulu yang perlu dilakukan dan selanjutnya semua akan mengalir seperti air.

Ketika telinga mendengar sesuatu, boleh jadi suara itu akan cepat berlalu. Namun, kalau telinga menyimaknya dan meresapkan dalam jiwa, suara itu akan mengendap. Dan tak tertutup kemungkinan akan ada kerinduan mendengar suara itu sekali lagi dan sekali lagi.

YGF membawa nyala kerinduan itu dan berharap semangat dari kaum muda akan muncul.

Memang, YGF sekarang berbeda dibandingkan dengan tahun lalu karena ajang bagi kaum muda pada YGF 2007, yakni Gamelan Gaul, kini dipisahkan waktunya ke Oktober. YGF sekarang lebih ”serius” karena pesertanya pemusik profesional dari beberapa negara, antara lain Singapura, Amerika Serikat, Australia, Jepang, dan Inggris.

Walau begitu, kerinduan tersebut tetap muncul dan mendapat obatnya. Kerinduan ini bukan semata kerinduan mendengar suara gamelan dari seperangkat alat yang dicap kuno, atau alat musik lain, ataupun dari laptop yang bisa dirancang agar berbunyi seperti gamelan. Gamelan bukanlah sekadar alat, tetapi spirit. Alat hanya media.

”Spiritnya adalah kebersamaan. Tanpa kebersamaan, orang tidak akan bisa main gamelan. Bermain gamelan itu seperti main sendiri-sendiri, tidak ha- rus melihat konduktor atau temannya di sebelah. Tapi bisa bareng dan jadi,” ujar Sapto Rahardjo, Direktur YGF 2008.

Kebersamaan

Menurut Sapto Rahardjo, ada kebersamaan yang tidak ter- beli kalau orang bermain gamelan. Kebersamaan diartikan sebagai konsep inti gamelan itu sendiri.

Kebersamaan akan membangun dan menumbuhkan sesuatu yang baik. Dengan sedikit berkelakar, Sapto menyebutkan bahwa ketegangan politik antardua negara tak berpengaruh kepada insan-insan senimannya yang tetap bersahabat. Itulah kebersamaan.

”Gamelan di tiap negara, berkembang dan berjalan sendiri-sendiri, namun bisa dibarengkan. Ya, seperti di YGF ini, misalnya,” ujarnya. Para peserta merogoh kocek pribadi untuk datang dan mereka selalu kangen YGF. Itu karena ada kebersamaan, kata Sapto.

Menyimpan keabadian

Gamelan juga menyimpan suatu keabadian. Alex Dea, salah seorang peserta dari Amerika Serikat yang rutin mengikuti YGF sembilan tahun terakhir, mengungkapkan, gending-gending klasik gamelan masih bisa dimainkan di masa sekarang meski usianya sudah ratusan tahun.

”Ini berbeda dengan gending kontemporer yang umurnya paling lama satu tahun, lalu hilang. Sekali dua kali dimainkan, lalu tidak terdengar lagi. Mengapa? Ini masih menjadi pertanyaan sampai sekarang,” kata Alex.

Karena itu, sejak tahun 2000 hingga tahun ini, Alex dan timnya masih membawakan komposisi yang sama, yang berjudul In Pelog. Bukan berarti Alex tidak mau menciptakan komposisi baru, tetapi ia seakan hendak membuat komposisi gendingnya itu menjadi ”abadi”.

”Saat memainkan gending lama, meski dimainkan berkali-kali, kita tetap punya kesempatan untuk menemukan sesuatu yang baru. Orang-orang hebat yang ada dalam tim saya selalu mencari something new di dalam yang lama,” ungkapnya.

Agar sebuah gending menjadi abadi, menurut Alex, harus dimainkan selama beberapa tahun, bahkan puluhan tahun. Akan tetapi, gending sama yang dia mainkan setiap tahun pun ternyata tidak persis sama. Selalu ada pengembangan meski patokannya masih sama.

Komposisi gending kontemporer mungkin tidak akan bisa bertahan lama karena selalu ada seleksi alam yang akan menentukan sesuatu bertahan atau tidak. ”Manusia, kan, bisa merasakan, yang mana yang bisa dimakan dan yang mana tidak. Sesuatu yang dibuat dengan cepat atau instan bisa saja terlihat indah, tetapi hanya sesaat, setelah itu hilang,” papar Alex.

Prinsip easy to make, taste good, bad for you pun berlaku bagi musik kontemporer. Sesuatu yang mudah dan cepat bisa jadi justru merusak estetika yang terkandung di dalamnya. Namun, musik gamelan kontemporer sekarang ini setidaknya sudah bisa ”menjerat” minat generasi muda.

Adapun masalah pelestarian dan pengembangan gamelan di masa mendatang niscaya menjadi tanggung jawab semua pihak….

Itu tadi berita dari KOMPAS. Ada satu pertanyaan lagi, siapa semua pihak itu. apakah kitatermasuk di dalamnya? Saya rasa ya. Kitatermasuk orang yangbertanggungjawab terhadap pelestarian budaya.
DEMPO memiliki seperangkat alatgamelan pelog dan slendro, sangat memadai untuk digunakan sebagai pengiring wayang orang/kulit. sementara ini alat gamelanitu merana. Belum tersentuh, karena kami kesulitan gurugamelan.
Ya kami kesulitan guru gamelan. Guru yangkami hubungi mematok harga tinggi sehingga kami agak kesulitan untuk membayarnya. Jika ada pihak yang peduli, kami akan senang.

No comments: